Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Dalam Kawasan Hutan
Puluhan juta warga Indonesia, hidup tergantung dari sumber daya hutan. Lebih dari 30 ribu desa berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan.
Sejak zaman kolonial Belanda, sekitar 70% wilayah Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan. Akibatnya, tanah-tanah adat yang berada di kawasan hutan dianggap tidak bertuan. Kondisi ini dimanfaatkan para pemodal untuk mengekspolitasi sumber daya alam sebesar-besarnya tanpa memperdulikan kelompok masyarakat hukum adat yang hidup dan tinggal di dalamnya.
Konstitusi memang telah mengamanatkan kebijakan tentang masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat diakui, namun tidak ada kejelasan pencatatannya. Ketidakjelasan dan ketiadakpastian hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-haknya atas tanah, semakin bertambah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Negara telah dengan sengaja menjadi aktor pelanggar Hak Asasi Manusia. Lewat izin konsesi yang diterbitkan Kementrian Kehutanan, tanah-tanah adat diambil alih, baik oleh korporasi maupun oleh Perusahaan Umum Perkebunan dan Perhutani. Pola pelanggarannya begitu sistematis: dilegitimasi melalui berbagai kebijakan, dan bersifat massif karena melibatkan begitu banyak korban.
Konflik-konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat di kawasan hutan memiliki intensitas yang cukup tinggi dan cenderung tidak terselesaikan. Sumatera Utara, Kalimantan Timur, Riau, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Lampung, Maluku, dan Papua adalah sejumlah daerah yang menjadi basis konflik yang melibatkan masyarakat hukum adat di kawasan hutan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2012 atas pengujian terhadap Undang-Undang Kehutanan, merupakan suatu terobosan penting dalam proses pembaharuan hukum. Wilayah masyarakat hukum adat yang sebelumnya diakui secara sepihak oleh pemerintah sebagai bagian dari hutan negara kini telah dikembalikan sebagai hutan hak adat.
Hal ini pula yang kemudian mendasari dilakukannya Inkuri Nasional Komnas HAM tentang Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Dalam Kawasan Hutan. Inkuiri Nasional merupakan upaya terobosan untuk melakukan penyelidikan mendalam dan sistematis dalam menangani situasi Hak Asasi Manusia, termasuk menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia yang rumit dan sistemik.
Inkuiri Nasional akan melibatkan masyarakat umum untuk turut berpartisipasi. Komnas HAM bersama organisasi mitra pendukung akan mendokumentasikan berbagai kasus pelanggaran hak masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh Indonesia. Secara transparan, inkuri nasional akan mengumpulkan bukti dari para saksi dan ahli untuk menginvestigasi pola sistematis dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, mengidentifikasi temuan-temuan, dan memberikan rekomendasi.
Pelaksanaan Inkuiri Nasional akan menerapkan model Dengar Kesaksian Publik untuk menyuarakan keprihatinan dan pengalaman para korban yang berpuluh tahun terbekap di ruang-ruang sunyi.
Agenda Dengar Kesaksian akan dilaksanakan di tujuh wilayah, yaitu Wilayah Sumatera (Sumatera Utara); Wilayah Jawa, Bali Nusa (NTB), Wilayah Kalimantan (Kalbar), Wilayah Sulawesi (Sulawesi Tengah), Wilayah Maluku, dan Wilayah Papua. Dengar kesaksian secara nasional pun yang akan digelar di Jakarta dengan konsentrasi pada para pemangku kewajiban dan penyusun regulasi.
Bagi masyarakat adat, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 adalah tonggak penting untuk mengukuhkan wilayah masyarakat hukum adat. Amar putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memastikan hutan adat bukan hutan negara, harus tegak dan segera dilaksanakan.
Inilah saatnya, kita mendorong pemerintah Indonesia untuk mengakui masyarakat hukum adat, menghormati hak-hak mereka, dan mengembalikan wilayah kedaulatan mereka.
Mereka, masyarakat hukum adat, adalah sumbu negeri ini.