Palu, 24 Maret 2012. Acara Dialog Terbuka Memperingati Hari Hak Korban Pelanggaran HAM atas Kebenaran dan Keadilan yang digagas oleh Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (SKP-HAM) Sulawesi Tengah, telah membuka babak baru bagi para korban pelanggaran HAM di Kota Palu. Walikota Palu, H. Rusdy Mastura, menyatakan permintaan maafnya kepada warga Kota Palu yang telah menjadi korban pelanggaran HAM, khususnya yang terkait Peristiwa 1965/1966.
Permintaan maaf Walikota Palu kepada para korban Peristiwa 1965/1966 itu tentu merupakan langkah yang patut diapresiasi. Ketika pemerintah pusat masih gamang dalam menyikapi Peristiwa 1965/1966, Walikota Palu justru mengakui akan adanya kekeliruan yang dilakukan oleh bangsa dan negara ini di masa lalu.
Mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM selama ini memang masih kerap terabaikan. Khusus bagi para korban Peristiwa 1965/1966, selama berpuluh tahun mereka terbelenggu oleh rantai ketidakadilan: dipinggirkan secara sosial, menanggung stigma dan diskriminasi yang tak berkesudahan.
Permintaan maaf Walikota Palu boleh dipandang sebagai pintu untuk menembus kebuntuan dan kebekuan dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Ada harapan dan sekaligus niat, pemerintah dan masyarakat secara bersama akan mencari solusi terbaik untuk memutus belenggu ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh para korban.
Harapan dan niat itu semakin menguat ketika Walikota Rusdi Mastura menggagas Palu sebagai “city for all”, yang kemudian disusul dengan dideklarasikannya Palu sebagai “Kota Sadar HAM. SKP-HAM Sulteng turut merancang dan menyusun lahirnya sepuluh butir deklarasi tersebut, yang dibacakan di hadapan masyarakat pada 20 Mei 2013, bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkinan Nasional. Pemenuhan hak bagi para korban pelanggaran HAM termaktub sebagai salah satu butir dalam deklarasi itu.
Deklarasi Palu sebagai Kota Sadar HAM menjadi batu loncatan untuk semakin memperteguh kebutuhan akan adanya kebijakan pemerintah daerah yang berkenaan dengan pemenuhan hak bagi korban pelanggaran HAM. Akhirnya, atas inisiatif SKP-HAM Sulteng dan dibantu Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), sebuah Peraturan Walikota Palu yang berkenaan dengan pemenuhan hak asasi manusia, terbit di akhir tahun 2013. Peraturan Walikota Palu Nomor 25 Tahun 2013 yang bertajuk “Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Daerah” itu memuat 17 Pasal, dengan tiga pasal yang secara khusus memuat aturan tentang pemenuhan hak bagi para korban dugaan pelanggaran HAM.
Pascaterbitnya Perwali Palu Nomor 25 Tahun 2013, implementasi menjadi kerja selanjutnya. Berbekal dari data korban pelanggaran HAM Peristiwa 1965/1966 yang dimiliki SKP-HAM Sulteng, pemerintah daerah Kota Palu kemudian melakukan verifikasi atas data itu agar bisa dijadikan dasar bagi implementasi Perwali. Hasil verifikasi seterusnya akan ditindaklanjuti oleh kelompok kerja khusus yang akan melakukan pengkajian dan perancangan program pemenuhan HAM bagi para korban yang akan diberikan Pemerintah Kota Palu sebagaimana yang menjadi mandat Perwali.
Kini, verifikasi sudah dilakukan. Dari 768 nama korban yang terdokumentasikan, 485 nama sudah terverifikasi. Para korban itu berasal dari 6 kecamatan yang tersebar di 19 kelurahan. Sampai saat ini pun sudah ada sejumlah program pemenuhan HAM dari Pemerintah Kota Palu yang telah diterima oleh para korban. Bagi para korban, program yang diberikan pemerintah daerah itu mungkin bisa menjadi buluh perindu, untuk meluruh luka yang berpuluh tahun mereka derita. Harapan terbesar mereka, pemerintah bisa memberikan rehabilitasi nama baik untuk memulihkan harkat dan martabat mereka.
Para korban pelanggaran HAM, sekurang-kurangnya untuk Kota Palu, kini telah bisa “diakui” keberadannya: bahwa mereka nyata adanya, patut mendapatkan perhatian, bukan semata-mata karena mereka warga Kota Palu dan warga negara Indonesia yang secara konstitusional memiki hak yang sama sebagaimana warga negara lainnya. Lebih dari itu, mereka memang layak untuk dibela karena selama berpuluh tahun negara telah abai terhadap mereka dan telah merampas hak-hak mereka sebagai manusia.
Namun demikian, kerja belum selesai, belum apa-apa. Di depan, jalan terjal bagi perjuangan para korban pelanggaran HAM mungkin masih akan sangat panjang.
* * *