Catatan

Catatan Proses Pembuatan Film “Laut yang Tenggelam”

Sekadar Pengantar

Film Laut yang Tenggelam merupakan film dokumenter panjang (feature lenght documentary). Durasi keseluruhan film ini 94 menit. Film ini merupakan produksi Komunitas Perfilman Intertekstual (KoPI) tahun 2006; hasil kerjasana KoPI dengan Kantor Bantuan Hukum (KBH) Purwokerto dan Masyarakat Ujung Alang, Kampung Laut, Sagara Anakan. KBH Purwokerto terlibat dalam pembuatan film ini, terutama dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang pada saat itu melakukan pendampingan dan pengorganisasian perempuan di Kelompok Balai Perempuan Ujung Alang, Kampung Laut.

Lokasi pembuatan film ini di wilayah Sagara Anakan dan sekitarnya, tepatnya di Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Cilacap dan di Pulau Nusakambangan. Film ini mulai dibuat sekitar pertengahan tahun 2005, dan secara keseluruhan selesai pada bulan Oktober 2006.

Gagasan umum pembuatan film ini terbetrik dari adanya fenomena tanah timbul di wilayah Sagara Anakan. Sagara Anakan sendiri adalah laguna yang menjadi muara beberapa sungai yang mengalir di wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Akibat sedimentasi yang terus-menerus, terjadi perubahan bentang alam di Sagara Anakan. Wilayah yang tadinya lautan, perlahan berubah menjadi daratan: tanah timbul pun terus bermunculan, membentang, dan sebagian di antaranya menempel di sepanjang Pulau Nusakambangan yang selama ini lebih dikenal sebagai “pulau penjara”.

Pada awalnya, sebenarnya kami hanya akan membuat film pendek, yang ditujukan sebagai “flm pendidikan”. Namun, di dalam proses pembuatannya di lapangan, gagasan awal kami itu terus mengalami banyak perkembangan.

Jika film ini masih dimaksudkan sebagai “film pendidikan”, durasi 94 menit tentulah terlalu panjang, dan tidak akan efektif. Maka dari itu, sebagai strategi untuk menyiasati agar tetap bisa ditujukan sebagai “film pendidikan”, penceritaan dalam film ini kami buat secara sekuensial.

Ada 10 sekuen seluruhnya, dengan 8 sekuen utama yang masing-masing membawahi isu atau tema tertentu:

  1. Opening : Dangdanggula Kampung Laut
  2. Pendangkalan, Tanah Timbul
  3. Nelayan Menjadi Petani
  4. Sengketa dengan Nusakambangan
  5. Pertanian, Tanggul, Air Asin
  6. Motean
  7. Naik ke Nusakambangan
  8. Pendidikan
  9. Sengketa dengan Perhutani
  10. Ending: Sinom Nya’mat Kampung Laut

Dengan strategi penceritaan yang sekuensial seperti itu, harapannya, film ini akan bisa ditonton secara keseluruhan; namun menjadi sangat terbuka juga untuk tetap dijadikan sebagai “film pendidikan” (yang relatif pendek) dengan mengambil sekuen per sekuen sebagaimana yang diperlukan.

Catatan kecil ini merupakan rangkuman dari proses pembuatan film Laut yang Tenggelam di Desa Ujung Alang, Kampung Laut, Sagara Anakan itu. Ada banyak hal yang kami dapatkan, dan sedikit-banyak mungkin akan menarik pula jika pengalaman itu bisa kami bagikan.

Semoga saja, catatan kecil ini akan bisa melengkapi berbagai hal yang―dengan berbagai pertimbangan dan juga keterbatasan―tidak bisa ataupun luput terceritakan di dalam film yang kami buat itu.

Salam,
Moh. Syafari Firdaus
Produser/Eksekutif Produser

* *

Catatan Sutradara

Laut yang Tenggelam merupakan film dokumenter keenam, dan film dokumenter panjang pertama yang saya sutradarai. Selama ini, film dokumenter yang saya garap lebih banyak mengangkat tema yang berkaitan dengan persoalan agraria. Begitu pun dalam film ini; persoalan agraria menjadi salah satu isu yang ingin saya ceritakan.

Meskipun demikian, tendensi terbesar saya dalam film ini hanyalah ingin merekam dan menceritakan kembali tentang bagaimana kondisi keseharian masyarakat Kampung Laut ketika mereka berusaha untuk mengahadapi dan menyikapi berbagai hal di sekelilingnya.

Film ini merupakan hasil kerjasama antara Komunitas Perfilman Intertekstual (KoPI) dengan Kantor Bantuan Hukum (KBH) Purwokerto dan masyarakat Ujung Alang, Kampung Laut. Di dalam proses pembuatannya, kami berusaha untuk membuat film ini secara partisipatif, dengan mengajak berbagai komunitas yang menjadi bagian masyarakat Kampung Laut untuk turut terlibat.

Upaya tersebut kami lakukan dengan harapan, film ini pada akhirnya tidak hanya akan menjadi milik kami sebagai pembuat film; namun juga akan menjadi milik komunitas masyarakat Kampung Laut, yang akan bisa mereka pakai sebagai “alat bantu” untuk mengenali dan merefreksi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Itulah sebabnya, di dalam film ini kami mengupayakan agar masyarat lah yang bercerita; kami hanya mencoba menyusun dan “membungkusnya”.

Akhirnya, secara pribadi saya berharap, film ini akan bisa dinikmati sebagai sebuah tontonan dan bisa memberikan inspirasi bagi berbagai pihak.

Salam,
Yuslam Fikri Ansari (Yufik)
Sutradara

* *

Sinopsis

Akibat sedimentasi yang terus-menerus, Laguna Sagara Anakan yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan, mengalami pendangkalan. Dari tahun ke tahun, luas Sagara Anakan kian menyempit.

Bentang alam pun berubah: yang tadinya laut, kini menjadi daratan. Masyarakat Kampung Laut yang hidup di sekitar Sagara Anakan yang merupakan masyarakat nelayan, sebagian di antaranya kemudian mulai beralih profesi menjadi petani: bertani, “nunut nandur” di tanah timbul yang dulunya adalah laut tempat mereka menyandarkan hidup.

Di balik kecemasan akan pertanyaan, tanah timbul itu milik siapa; tak hentinya pula mereka berjuang demi mewujudkan sebuah harapan: tanah yang tadinya laut itu kelak akan bisa menjadi milik mereka.

* *

Sekilas Kampung Laut, Sagara Anakan

Kampung Laut. Kampung itu disebut demikian karena, menurut riwayatnya, kampung itu dulunya memang berada di tengah laut, tepatnya berada di tengah Sagara Anakan.

Sagara Anakan sendiri merupakan sebuah laguna yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Nusakambangan. Laguna ini dulunya adalah tempat pamijahan (pembenihan) alam berbagai jenis ikan, dan kerap dipandang sebagai salah satu laguna yang memiliki ekosistem yang cukup unik.

Di tengah laguna inilah Kampung Laut berada. Dari tambatan Sleko, Cilacap, perjalanan selama kurang-lebih 1,5 jam dengan menggunakan compreng harus ditempuh untuk bisa sampai ke Kampung Laut ini.

Kampung Laut terbagi menjadi empat desa, yaitu Ujung Alang, Ujung Gagak, Panikel, dan Klaces. Seiringnya dengan perkembangan wilayah dan bertambah-nya penduduk, Kampung Laut pun kemudian menjadi kecamatan, dengan Klaces sebagai kota kecamatannya.

Masyarakat Kampung Laut pada dasarnya adalah masyarakat nelayan, dan Laguna Sagara Anakan merupakan sumber nafkah dan tempat sandaran hidup mereka. Dulu, hasil laut yang didapatkan masyarakat Kampung Laut dari Sagara Anakan, cukup berlimpah. Mereka bahkan menyebut, hidup mereka “berbalut ikan”.

Namun, dari waktu ke waktu Laguna Sagara Anakan kian menyempit akibat sedimentasi yang terus-menerus. Diperkirakan, sekitar 6,2 juta meter kubik lumpur per tahun dibawa oleh berbagai sungai (di antaranya sungai Citanduy, Cimeuneung, Cibeureum, Kawunganten) yang bermuara di Sagara Anakan.

Bentang alam pun kemudian berubah. Laguna Sagara Anakan pun perlahan seakan mulai tenggelam, digantikan dengan tanah timbul. Jika tahun 1903 luas Sagara Anakan masih 6.450 hektar; pada tahun 2003, luas Sagara Anakan hanya tinggal 400 hektar.

Seiring dengan makin menyempitnya Sagara Anakan, masyarakat Kampung Laut pun harus kehilangan sumber nafkahnya. Sebagian dari mereka kemudian mulai beralih profesi, menjadi petani dengan memanfaatkan tanah timbul sebagai lahan garapannya. Bagi mereka, beralih profesi dipandang sebagai cara yang paling logis (dan paling mungkin) untuk dilakukan agar mereka bisa melanjutkan kelangsungan hidupnya.

Keberadaan masyarakat di tanah timbul itu pun bukannya tanpa sengketa. Ada beberapa pihak yang berkepentingan dalam konteks tanah timbul itu. Selain masyarakat, paling tidak di sana ada LP Nusakambangan, Perhutani, dan Badan Pengelola Konservasi Sagara Anakan (BPKSA) yang lebih punya perhatian pada hutan mangrove.

Masyarakat pun bukannya tanpa ada kesadaran dengan status tanah timbul itu sendiri. Justru, dalam kecemasannya, mereka senantiasa menginginkan kepastian jawaban atas pertanyaan sederhana: “Tanah timbul itu milik siapa? Bilakah mereka berhak nunut nandur di tanah timbul yang dulunya adalah laut tempat mereka menyandarkan hidup?”

Kecemasan masyarakat itu memang sangat beralasan. Sampai saat ini, status tanah timbul sepertinya memang masih belum diatur secara eksplisit dalam suatu aturan perundangan.

Kini, boleh disebut, sudah tidak ada lagi kampung di tengah laut, meskipun mereka sendiri tetap menyebut kampung mereka sebagai Kampung Laut.

* *

Laut yang Tenggelam: Catatan Proses

Pembuatan film Laut yang Tenggelam ini awal prosesnya didorong oleh Noer Fauzi yang sempat berkunjung ke Ujung Alang, Kampung Laut. Di Ujung Alang, Noer Fauzi bertemu dengan Siti Fikriyah yang ketika itu tengah melakukan penelitian, sekaligus melakukan kerja pengorganisasian perempuan di Balai Perempuan Ujung Alang, Kampung Laut. Noer Fauzi pula yang kemudian mengusahakan small grant dari Global Greengrant Fund (GGF) untuk mendukung kerja pengorganisasian di Balai Perempuan Ujung Alang, Kampung Laut.

Salah satu aktivitas yang direncanakan untuk mendukung kerja pengorganisasian itu adalah pembuatan film pendidikan. Selain untuk mendokumentasikan berbagai aktivitas yang dilakukan perempuan di Kampung Laut, film yang dibuat itu pun harapannya akan bisa dipakai sebagai alat penguatan kelompok, sekaligus sebagai sarana untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat Kampung Laut.

Ruang lingkup tempat pembuatan film (lokasi pengambilan gambar), pada awalnya hanya akan terfokus di wilayah Ujung Alang (Motean, Mangunjaya, dan Ketapang); sedangkan untuk aktivitas perempuan yang akan difilmkan akan berbasis pada aktivitas keseharian dan kerja pengorganisasian yang dilakukan oleh Kelompok Balai Perempuan Ujung Alang.

Dengan gagasan awal untuk membuat film pendidikan seperti itulah kami, Komunitas Perfilman Intertekstual (KoPI) dan Kantor Bantuan Hukum (KBH) Purwokerto―yang pada saat itu melakukan pendampingan di Balai Perempuan Ujung Alang―datang ke Kampung Laut, pada pertengahan Mei sampai Juni 2005.

Proses Awal
Pada awalnya kami cukup optimis akan bisa mendokumentasikan, dan menceritakan kembali berbagai aktivitas yang dilakukan perempuan di Kampung Laut dalam bentuk film, dan sekaligus akan memperoleh bahan visual yang kaya untuk disusun menjadi sebuah film pendidikan.

Sebelumnya, dari cerita dan diskusi awal dengan Siti Fikriyah, kami mendapat sekilas gambaran, kerja pengorganisasian Balai Perempuan Ujung Alang lebih diarahkan kepada soal-soal yang berkaitan dengan penataan pola produksi (penataan ulang kondisi lahan yang akan memungkinkan masyarakat untuk bisa kembali melakukan proses produksi/bertani, pengawasan pembukaan hutan Nusakambangan, usaha persemaian bibit tanaman jangka panjang) dan community building.

Sedangkan hal-ihwal yang berkaitan dengan soal gender (yang kala itu sedang cukup mengemuka dengan program gender mainstreaming-nya), tidak mendapat porsi yang boleh dibilang signifikan dalam kerja pengorganisasian di Balai Perempuan Ujung Alang. Soal itu hanya sesekali disinggung untuk dijadikan sebagai titik masuk pada kasus-kasus tertentu.

Akan tetapi, kenyataan di lapangan agak meleset dari gambaran yang sebelumnya telah kami dapatkan. Aktivitas yang dilakukan Balai Perempuan Ujung Alang sebagaimana yang diceritakan Siti Fikriyah, sebagian besar ternyata adalah aktivitas yang “sudah dilakukan”, yang ketika kami datang ke sana, aktivitas tersebut sudah tidak―ataupun belum―diteruskan lagi.

Bagi upaya pendokumentasian dan pembuatan film dokumenter, situasi tersebut tentu saja cukup menyulitkan. Bahan-bahan visual yang harapannya bisa kami dapatkan, dengan demikian, menjadi sangat terbatas. Selain itu, dari pengamatan awal kami di lapangan, persoalan yang berkaitan dengan “peran perempuan” di Ujung Alang, sangat berkaitan erat dengan sejumlah permasalahan lain yang cukup kompleks di Kampung Laut.

Hal inilah yang kemudian mendorong kami untuk menggeser gagasan, dari gagasan awal film yang akan terfokus pada pernceritaan “peran perempuan” ke gagasan yang lebih luas, yaitu merekam kehidupan keseharian masyarakat Ujung Alang, Kampung Laut secara umum. Sebagai konsekuensinya, selain terus mengambil gambar, kami pun melakukan riset lanjutan untuk mengembangkan materi penceritaan.

Akan tetapi, bukan perkara mudah juga ketika kami melakukan riset untuk mengumpulkan data yang sekiranya kami perlukan. Selain karena faktor geografis (jarak satu tempat ke tempat lain relatif cukup jauh dan sebagian besar harus menggunakan perahu/transportasi air), ada sebagian masya-rakat yang tampak telanjur apatis, yang karenanya menjadi “resisten” dengan “orang luar” yang mengatasnamakan suatu lembaga tertentu.

Resistensi ini sedikit-banyak kemudian menjadi bisa dipahami ketika kami mulai menggali lebih dalam lagi ihwal permasalahan, terutama, yang pernah dialami oleh masyarakat Kampung Laut. Pada konteks lembaga, ada begitu banyak lembaga telah yang melakukan intervensi program di Kampung Laut, namun bagi sebagian masyarakat program yang dilakukan belum lagi terasa memberikan manfaat (kami sempat berpikir, mungkinkah kami juga yang tergolong seperti itu?).

Belum lagi soal “Proyek Sudetan Citanduy” yang masih terus mengambang, dan mereka kerap hanya mendapatkan janji demi janji. Sementara dalam konteks tanah timbul, masyarakat Kampung Laut yang pada awalnya membuka lahan di tanah timbul Nusakambangan, harus menghadapi pula permasalahan dengan sejumlah “pihak luar” yang melakukan perebutan klaim dan penguasaan terhadap lahan garapan di tanah timbul yang telah dibukanya. Sudah lebih dari 20 tahun masyarakat Kampung Laut yang berada di tanah timbul tetap bertahan untuk memperoleh pengakuan atas penguasaan tanah garapannya.

Proses Lanjutan
Dari hasil riset di lapangan, kami ternyata menemukan banyak hal yang sangat potensial untuk difilmkan: mulai dari isu lingkungan (sedimentasi, mangrove, hutan, air bersih), agraria, pendidikan, penataan wilayah, selain soal yang menyangkut bagaimana hidup keseharian masyarakat Kampung Laut itu sendiri. Dalam pikiran kami, jika kami bisa membuat film yang merangkum berbagai hal itu, film yang akan kami buat sepertinya akan mungkin untuk digunakan sebagai alat penguatan masyarakat Kampung Laut secara keseluruhan.

Pada akhirnya, kami memutuskan untuk tidak langsung membuat film jadi. Dari hasil pengambilan gambar selama di Kampung Laut, dan didasarkan pada hasil riset lapangan, kami kemudian membuat sebuah film, yang kala itu kami sebut sebagai “film draft”. Di dalam film draft yang berdurasi sekitar 60 menit itu, kami mencoba merangkum berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat Kampung Laut (pada awalnya, film pendidikan yang akan kami buat, direncanakan tidak akan lebih dari 30 menit).

Kami membayangkan, film draft itu akan diputar di masyarakat Kampung Laut dan akan dijadikan sebagai titik masuk diskusi untuk mengidentifikasi dan merefleksi berbagai persoalan yang mereka hadapi. Format pemutaran film dan diskusi yang kami bayangkan adalah diskusi kelompok terfokus (FGD), paling tidak dilakukan di dua tempat: di Ujung Alang dan Motean.

Tujuan dari FGD itu sendiri adalah agar kami bisa mengetahui bagaimana respon masyarakat Ujung Alang terhadap draft film Kampung Laut yang diputar; mengumpulkan tanggapan dan aspirasi dari masyarakat Ujung Alang tentang hal-hal apa saja dalam kehidupan mereka di Kampung Laut yang dipandang penting untuk difilmkan; dan membuat kesepakatan bersama antara Masyarakat Ujung Alang – Kampung Laut dengan tim produksi film tentang isi film.

Hal yang paling kami harapkan, semoga saja dengan pemutaran film dan diskusi itu masyarakat Kampung Laut akan bisa membongkar kembali ingatan historis-kolektif mereka. Ingatan historis-kolektif ini kami pandang penting, baik dalam relasinya dengan Pulau Nusakambangan maupun dengan semangat perjuangan mereka ketika membuka dan mempertahankan lahan garapan di tanah timbul yang kerap diincar dan dipermasalahkan oleh berbagai pihak (di antaranya oleh pihak LP Nusakambangan dan Perhutani).

Dalam kaitannya dengan pembuatan film itu sendiri, dalam konteks isi film, harapannya akan bisa dilengkapi pula oleh gagasan dari masyarakat Kampung Laut. Pada konteks ini pun, kami akan mengajak masyarakat Kampung Laut untuk turut berpartisipasi dan langsung terlibat dalam pembuatan film, kalaupun film draft yang kami buat masih dirasa perlu untuk disempurnakan.

Pemutaran Film
Pertengahan Juli sampai Agustus 2005, kami kembali ke Ujung Alang, Kampung Laut. Agenda kami, selain untuk melakukan pengambilan gambar, adalah pemutaran film draft dan akan diteruskan dengan FGD.

Sungguh di luar dugaan, masyarakat Ujung Alang dan Motean ternyata sangat antusias dengan acara pemutaran film draft tersebut. Ada cukup banyak tanggapan dan komentar yang kami terima setelah acara pemutaran film.

Pemutaran film pertama dilakukan di Ujung Alang. Seperti rencana kami semula, setelah pemutaran film lantas diteruskan dengan FGD. Begitu pun halnya ketika melakukan pemutaran film yang kedua kalinya di Motean.

Proses diskusi pada saat FGD pun kami pandang berlangsung menarik. Film draft yang menjadi titik pijak diskusi untuk mengidentifikasi dan merefleksi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat Kampung Laut, boleh dikatakan bisa mencapai seperti yang diharapkan.

Komentar, tanggapan, dan usulan untuk perbaikan film pun banyak dilontarkan oleh peserta diskusi. Selain itu, ada cukup banyak masyarakat yang kemudian mengajukan diri untuk turut membantu proses pengambilan gambar, terutama sebagai penunjuk jalan dan membantu mencari dan menemui nara sumber.

Dampak yang menurut kami sangat menggembirakan setelah acara pemutaran film dan FGD itu adalah semakin terbukanya masyarakat dalam proses pembuatan film ini, tidak terkecuali dengan sebagian masyarakat yang sebelumnya terkesan “resisten” dengan keberadaan kami di Kampung Laut.

* * *

Konten Terkait

Man with a Movie Camera: Juxtaposisi dan “Ideologi”

Moh. Syafari Firdaus

Film Dokumenter dan Perubahan Sosial

Moh. Syafari Firdaus

Tinggalkan Komentar