Catatan

Man with a Movie Camera: Juxtaposisi dan “Ideologi”

Catatan Kecil untuk Man with a Movie Camera Dziga Vertov[1]

Poster Man with a Movie Camera

Catatan Kecil untuk Man with a Movie Camera Dziga Vertov[1]

The film drama is the opium of the people… down with bourgeois fairy-tale scenarios… long live life as it is!
—   Dziga Vertov

Cinema must be considered as a philosophy because it constructs its own “concepts.” Cinema is not an applied philosophy submitted to traditional philosophical concepts, but it develops “cinematic” concepts.
—   Gilles Deleuze

Man with a Movie Camera ‘Chelovek s Kinoapparatom’ (1929) karya Dziga Vertov[2] disebut-sebut sebagai salah satu film dokumenter terbaik yang pernah dibuat. Film ini dipandang menjadi salah satu tonggak yang telah menginspirasi sejumlah filmmaker dokumenter generasi selanjutnya; terutama bagi mereka yang pada tahun 1960-an mengusung gaya cinema verite dan/atau direct cinema dalam karya-karyanya.[3]

Sudah ada begitu banyak ulasan yang ditulis menyangkut film Vertov ini, dari berbagai sisi dengan berbagai pendekatan. Sekadar bahan pengantar diskusi, dalam catatan kecil ini saya hanya akan sepintas mengupas ihwal gaya tutur Vertov dalam film ini, terutama yang berkenaan dengan penempatan juxtoposisi yang berkorelasi dengan ideologi.

* *

Sepintas lalu, film Man with a Movie Camera sebenarnya tampak sederhana: menyajikan bagaimana aktivitas keseharian masyarakat kota (Moscow, Kiev, and Odessa) dan sejumlah peristiwa yang menyertainya dalam satu hari. Dengan pertanyaan sederhana pula, apa yang membuat film Vertov ini menjadi istimewa?

Di bagian awal film, secara eksplisit Vertov menyatakan, filmnya ini adalah film eksperimental yang ditujukan untuk membuat sebuah bahasa sinema internasional yang didasarkan atas pemisahan secara absolut dengan bahasa teater dan sastra. Boleh jadi, ini adalah salah satu “khas” Vertov. Sebelumnya, dengan Kinoki (Cine-Eyes), kelompoknya yang dibentuk tahun 1922, Vertov memang telah mengedepankan sejumlah kredo dan manifesto untuk karya-karyanya.[4] Jika Deleuze meyakini, film harus dipertimbangan sebagai filsafat karena film mengkonstruksi konsep-konsep sinematiknya, kredo dan manifestaso Vertov dengan kinoki-nya itu boleh dipandang sebagai bagian dasar dari bangunan konsepsi—dan bahkan ideeologi—bagi karya-karyanya.

Di awal kehadirannya, Man with a Movie Camera sesungguhnya menuai cukup banyak kritik. Kritik pedas bahkan muncul dari Osip Brik dan Victor Shklovsky yang notabene adalah kolega Vertov di komunitas avant-garde Rusia (yang dikenal pula sebagai Formalis Rusia). Brik dan Shklovsky menilai, film itu kurang memiliki kesatuan: “Vertov telah mengabaikan kebutuhan vital untuk membangun skenario tematiknya secara jelas.” Menurut Brik dan Shklovsky, hal itulah yang telah membuat film Vertov tersebut kehilangan struktur globalnya.

Kritik senada muncul pula dari John Grierson, salah seorang—dari tiga orang—yang dipandang sebagai bapak dokumenter. Grierson menyebut, Man with a Movie Camera hanyalah sekumpulan footage (rekaman), yang sama sekali bukan seni: baru hanya sebatas album snapshot yang tidak memiliki cerita dan struktur dramatik. Oleh karena itu, bagi Grierson, Man with a Movie Camera sama sekali bukan film dokumenter.

Dengan klaim bahwa film ini adalah eksperimental, cara bertutur Vertov memang menjadi tidak biasa pada zamannya. Dengan cara pandang gaya tutur formal, gaya Vertov tersebut bisa dipandang obscure, tumpang-tindih, fragmentaris, dan tidak beralur. Gaya tutur macam Vertov ini sepertinya baru akan bisa menemukan relevansinya di era “post-modern” seperti hari ini.

Tanggapan positif justru muncul di kemudian hari, ketika film ini diputar secara luas di Eropa dan Amerika. Karya-karya Vertov, termasuk Man with Movie Camera, memang “baru” dibicarakan dan dipandang sebagai film yang fenomenal pada tahun 1950—1960-an. Ada yang menyebut, Man with a Movie Camera (dan juga sejumlah filmnya yang lain) memperlihatkan penyatuan yang rumit antara seni, politik, dan retorika puitik. Dalam pandangan David Gillespie,[5] “Man with a Movie Camera is a much more revolutionary in film on the importance of cinema, and its dominance as an art for in the  new city of the future. [….] It is not just radical in its stylistic virtousity, with is rapid, occasionally lightning-fast, cross-cutting, freeze frame, split screen and use of slow motion. Rather, the film’s conceptual framework, in line with Cine-Eye’ manifesto, is utopian”.

Lebih lanjut Gillespie menulis, film ini pun merayakan kehidupan urban dan teknologi. Ada begitu banyak shot yang memperlihatkan mesin dan tempat kerja industrial, sehingga film dan pembuatannya ditempatkan secara tegas dalam kontkes produksi dan proses manufaktur. Pun, film ini adalah film tentang pembuatan film. Berkali-kali, kameramen yang tengah mengambil shot menjadi objek dari kamera; dan itu muncul secara bergatian dengan objek shot yang tengah diambilnya.

Boleh jadi, perbedaan tanggapan terhadap Man with a Movie Camera salah satunya adalah karena adanya pergeseran cara pandang ihwal gaya tutur dalam bercerita (storytelling). Gaya Vertov yang pada awalnya adalah eksperimental itu, bisa menemukan relevansinya kemudian; bahkan sanggup menjadi satu gaya/mahzab tersendiri yang tetap bertahan sampai hari ini dalam percaturan film dokumenter dunia.

* *

Ketika pertama saya menonton film ini, saya cukup terkaget-kaget karena ada film dengan gaya tutur “post-modern” semacam ini yang telah dibuat pada tahun 1929. Begitu pun, saya sempat tertegun dengan “permainan” teknik editingnya.

Hal yang lebih menarik lagi, gaya tutur yang terkesan obscure, tumpang-tindih, fragmentaris, dan nyaris tidak beralur itu justru memberi ruang kepada saya untuk menyusun persepsi sendiri tentang cerita semacam apa yang ingin dikedepankan Vertov dalam filmnya itu. Meskipun tampak terkesan rumit dengan memainkan sejumlah intercut dan penempatan shot-shot yang (tampak) acak, namun Vertov dengan jeli bisa menempatkan penanda-petanda yang bisa menggiring saya untuk menemukan benang merah antara satu dengan yang lain. Bagi saya, pada konteks ini pun, Man with a Movie Camera menjadi istimewa, selain keistimewaannya itu pun justru adalah karena di dalam film ini Vertov sesungguhnya bertolak dan ingin membicarakan hal yang sederhana.

Jika menggunakan metode strukturalnya Barthes, film ini bisa dipahami dalam konteks, Vertov telah melakukan pengelompokan antara yang “similar” dan yang “dissimilar” untuk shot-shot dan scene-scene-nya: ruang-ruang sepi, benda-benda, lanskap kota, orang tidur (orang tidur di kamar, orang tidur di bangku), orang memulai aktivitas, alat transportasi yang mulai dikeluarkan dari tempatnya (pesawat terbang, trem, bus), aktivitas keramaian kota, dls.. Antara yang similar dan yang dissimilar inilah yang dimainkan dan diolah oleh Vertov sehingga membangun urut-urutan cerita. Meskipun terkesan acak, urut-uturan cerita itu sesungguhnya mengantar pada adanya “alur waktu” yang tegas. Dengan caranya ini, di dalam filmnya itu Vertov membangun “simularcum”: realitas kota di sebuah negara yang bernama Soviet.

Hal yang cukup dominan dalam relevansinya dengan gaya tutur di film ini adalah bagaimana Vertov mengolah juxtaposisi. Juxtaposisi yang diolah Vertov tampaknya tidak hanya ditempatkan untuk membangun kontras dan perbedaan, namun sekaligus juga bisa memberi efek ironi dan, pada beberapa scene, paradoks.  Contoh menarik bisa dilihat ketika Vertov menjuxtaposisikan antara buruh wanita yang sedang mencuci baju dengan seorang wanita yang sedang creambath. Pada konteks ini, Vertov seakan ingin mengedepankan kontras, sekaligus ironi dan paradoks, antara “proletar” dan “borjuis”. Hal yang sama bisa dilihat di shot selanjutnya ketika Vertov menjuxtaposisikan antara orang yang sedang mengasah pisau untuk cukur janggut dengan orang yang sedang mengasah kapak.

Penempatan juxtaposisi semacam itu tentu dikedepankan dengan tujuan tertentu. Pada konteks ini, Vertov tampaknya  sadar betul dengan efek yang kemudian akan dihasilkannya: empati terhadap proletar. Vertov seakan ingin menyatakan, dalam kaitannya dengan kota, urban, dan teknologi,  kaum proletar—dalam hal ini buruh—menjadi begitu penting peranannya; dan hal-hal yang berkaitan dengan kaum buruh tersebut tampak menjadi begitu dominan dalam filmnya ini.

Dengan kata lain, film Vertov ini sesungguhnya bisa dipandang sebagai film politis, ideologis, dan (tetap) mengusung Marxis-Leninis sebagaimana sejumlah karya newsreel-nya ketika dia di Kino-Pravda. Hanya saja, meskipun film-filmnya mengusung propaganda, namun bisa dikemas halus dengan tuturan yang cenderung menjadi simbolis dan puitik itu. Boleh jadi, oleh karena gaya tuturnya ini pula yang menyelamatkan Vertov di kemudian hari. Paling tidak, nasibnya tidak seperti Leni Riefenstahl, filmmaker dokumenter perempuan Jerman, yang kerap membuat film-film propaganda Nazi. Meskipun karya-karya film Leni dipandang sebagai film yang baik, namun, sebagai seorang filmmaker, Leni dikucilkan oleh para filmmaker lainnya.

* * *

_____________________

[1] Ditulis sebagai suplemen Kelas Filsafat dalam Film yang diadakan oleh Garasi 10 Bandung, pada 14 Juni 2012.

[2] Terlahir dengan nama Denis Arkadyevitch Kaufman, tahun 1896 di Bialystok (sekarang Polandia).

[3] Salah satu sineas yang menjadi pelopor cinema verite ini adalah Jean Rouch, sineas dokumenter Prancis. Rouch secara ekplisit menyebut, cinema verite merupakan warisan dari Vertov. Sebutan cinema verite sendiri merupakan terjemahan langsung dari Kino-Pravda (Cinema Truth), konsep Vertov ketika dia membuat serial newsreel di tahun 1922 untuk koran Pravda, sebuah media milik pemerintah Soviet yang mengusung propaganda.

[4] Sejumlah kredo dan manifesto Vertov itu biasanya dirumuskan secara sederhana sebagai “life as it is” dan “life caught unawares“.

[5] Early Soviet Cinema: Innovation, Ideology and Propaganda, London: Wallflower, 2000:76.

Konten Terkait

Film Dokumenter dan Perubahan Sosial

Moh. Syafari Firdaus

Catatan Proses Pembuatan Film “Laut yang Tenggelam”

ActVDoc

Tinggalkan Komentar